Langsung ke konten utama

Learn, Unlearn and Relearn.


Pernah gak kamu kepikiran bagaimana nanti kamu menjadi orang tua dan ngajarin anak soal Kehidupan? Pernah gak kepikiran bagaimana nanti kamu ngjajarin soal tata krama? Atau yang paling simple, pernah gak kepikiran bagaimana nanti kamu bantu anakmu ngerjain PR (Pekerjaan Rumah) sekolah?

Jujur .. semenjak mulai jadi guru private hal-hal ini jadi kepikiran. Makin kepikiran ketika setiap beres ngajar selalu diskusi sama orang tuanya perihal situasi dan kondisi si anak. Bagaimana dia susah bersosialisasi, bagaimana dia lebih senang pelajaran IPA dibanding Matematika, bagaimana dia menjadi kurang percaya diri setiap kali mengerjakan soal dan masalah lainnya yang belum keliatan sampai hari ini. Well .. kita memang harus benar-benar belajar menjadi pengajar. The problem is, are we ready to learn how to understand the unlearn and then relearn?

Qeis mau cerita soal mengajar, khususnya pengajar privat atau guru privat. Awal Agustus ini Qeis memutuskan untuk ambil side job sebagai guru privat. Sebelumnya buat bisa ngajar privat kalo belum punya koneksi atau belum PD untuk brand and advertise yourself as a great private teacher, salah satu cara yang bisa diambil adalah mendaftar ke yayasan. Banyak banget yayasan yang berkutat dibidang Pendidikan Luar Sekolah. Akhir bulan Juli Qeis mulai cari yayasan yang terima pengajar privat di internet. Hasilnya nemu 3 sampai 5 yayasan. Langsung kontak semua adminnya dengan pertanyaan yang sama. Dan akhirnya alhamdulillah terdaftar di Hamasah Privat. Alasan kenapa Qeis jadi guru privat adalah;
  •      Sedang membutuhkan penghasilan tambahan
  •      Modalnya gak besar
  •      MAU Belajar

Alasan ke-1 karena sedang banyak kebutuhan paska kaka menikah (you know what I mean), alasan ke-2 karena ga butuh modal besar itu sungguh betul kawan. Qeis cuma butuh bensin aja, pokoknya sebelum bubaran kantor Qeis udah makan dulu di kantor, bubar jam sekitar jam 17.30 WIB langsung caw ke lokasi. 90-120 menit ngajar, dapet sekitar Rp. 50.000, pulang deh. Dikali 4 hari jadi Rp. 200.000,. Terus Ibunya ada rencana nambah materi pelajaran yang akhirnya, seminggu jadi 2x pertemuan. Kalo ga ada absen, 1 bulan bisa dapet Rp. 400.000,. Dan.. alasan ke-3 adalah MAU Belajar. Sebenernya, materi SD itu ga susah. Ego yang susah.

Kenapa bicara ego? Kenapa ga Egi aja? Gini. Beberapa waktu lalu pas lagi scrolling di youtube cari-cari inspirasi dari TEDx, nemu vidio yang dipublikasikan tanggal 01 Agustus 2019 yang menampilkan seorang pembicara bernama Natalie Fratto. Natalie Fratto merupakan seorang tech investor yang di vidio itu beliau share idenya soal bagaimana dia membuat keputusan yang tepat untuk mendanai sebuah start-up dari start-up lainnya, bagaimana keputusannya menilai founder, visi dan produknya, termasuk cara dia membuat mekanisme penilaian dan alat ukurnya. Dari vidio itu Fratto menyebutkan salah satu kunci utama dalam pekerjaanya adalah menilai orang dari kemampuannya untuk adaptasi (adaptability). Alat ukur yang dipakai itu ada 3, dan salah satunya yang paling Qeis ingat adalah soal ..


Unlearn.


Pertama kali dengar istilah ini langsung mengerutkan dahi plus fokus liat layar handphone. Kalo kamu pakai google translate, unlearn artinya belajar meninggalkan. Kalo baca di Kompasiana, kamu bakal nemu istilah learn, unlearn and relearn.

“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn and relearn.”

-        -  Alvin Toffler

Unlearn yang Qeis tangkap merupakan proses dimana kamu mengubah, mengganti atau bahkan meninggalkan skill, teori, sistem, kebiasaan yang sebelumnya sudah dipelajari. Hal ini terjadi karena kamu menemukan sesuatu yang lebih baik atau tepat. Mari ambil contoh biar lebih paham. Dulu bayar tol kita tinggal kasih uangnya, sekarang muncul E-toll dan kartu pembayaran lainnya. Dulu buat masak harus beli minyak tanah buat kompor sumbu, eh sekarang muncul gas regulator. Dari dua contoh di atas-kalo kamu kelahiran minimal anak 90an aja-kamu pasti inget betapa cukup merepotkan peralihan budaya ini. Ketika beralih ke gas regulator, banyak rumah-rumah terbakar karena kurangnya anggota keluarga yang paham betul soal pemasangan dan perawatannya. Pemerintah juga perlu waktu dan tenaga untuk sosialisai terus ke masyarakat. Dulu juga ketika E-toll hadir, cukup jadi momen tersendiri bagi Qeis. Waktu itu ke Jakarta sama Ayah dan lupa bahwa di Jakarta sudah diberlakukan E-toll. Pas berangkatnya masih bisa bayar tunai. Ketika pulang .. kita ga ngeuh, kita udah di barisan depan gerbang tol dan lupa belum beli E-toll. Yaa .. intinya ada teriakan, kepanikan, kerusuhan dan akhirnya punya E-toll 😊

Dalam 1 tahun kita pasti bakal menghadapi  yang namanya perubahan. Baik itu dari diri kita sendiri atau perubahan yang terjadi di luar kita namun juga akhirnya berdampak pada cara kita hidup. Go-jek, Shopee dan Red Doorz. 3 perusahaan saja yang hadir di Indonesia ini, sudah cukup bikin kehidupan kita hampir berubah banyak. Kalo laper, mau belanja juga mau booking kamar hotel, kita tinggal buka handphone terus berangkat ke aplikasi masing-masing. Gak perlu habisin waktu berjam-jam untuk mendapatkan 3 hal yang kita inginkan diatas.

Bagi Qeis, hal ini sangat mempengaruhi bagaimana cara Qeis meningkatkan keahlian beradaptasi. Dalam kasus ini, soal bagaimana Qeis mengajar. Jujur .. ketika liat dan baca-baca soal ini ditambah nonton film korea yang judulnya Parasyte, Qeis jadi berusaha belajar lagi khususnya soal materi SD yang menurut Qeis pada awalnya mudah, ternyata tidak bung. Apa yang terbayang olehmu ketika kamu menjadi pekerja swasta yang tiap hari berkutat sama uang dan pajak, tiba-tiba harus ngajarin soal bagaimana menghitung debit air? I don’t know you but for me .. I really learn how to do math from the basic. Dari teori sampai soal-soal latihan, Qeis bener-bener ikutin prosesnya. Untuk apa? Untuk melawan ego. Ego bahwa dengan Qeis lulus, maka materi SD dikuasai. Melawan ego bahwa dengan Qeis punya handphone dan akses internet, Qeis tinggal cari soal dan kunci jawabannya terus kasih ke anak. Toh Qeis hanya mengajar pelajaran bukan sebagai guru disekolah atau bahkan orang tuanya. Tapi kan ..

Gak gitu Ijun*.

Godaan untuk tidak belajar-lagi sungguh berat. Diposisi sudah kerja yang kadang juga ikut kepikiran soal pekerjaan sampai-sampai dibawa kerumah, eh malah harus belajar konsep dan bikin soal. Meski begitu, sebenernya mengajar sudah menjadi renjana ketika kuliah. Bukan karena seneng liat anak kecil atau apa, tapi ngerasa aja bahwa menjadi pengajar itu sudah seharusnya bukan hanya sebagai profesi tapi sebagai peran. Mengingat kita semua merupakan calon guru pertama bagi anak-anak kita. Alangkah baiknnya kita belajar bagaimana mengajar manusia, dari titik yang paling rentan. Yaitu.. anak.

Kenapa Qeis sambungin istilah unlearn dan mengajar, karena ini salah satu momen dalam hidup Qeis yang bikin sadar bahwa kita memang harus belajar untuk berubah mengikuti sesuatu yang memang bukan untuk dilawan, tapi disaring. Lalu dipilah dan diambil yang bisa kita ambil, buang sisanya. I know that changing is challenging but, kita ga akan berkembang kalo ga ikut kompetisinya. Kita akan terjebak dalam rasa nyaman, pait-paitnya adalah kita akan anti dengan perubahan. Perubahan yang buruk memang perlu dikritisi, tapi perubahan yang baik?

Jadi, coba resapi makna diatas. Moga kita bisa rubah hal-hal dari kita dan sekitar kita menjadi lebih baik. Apa mudah? Enggak lah, masih banyak hal-hal yang Qeis pribadi belum bisa taklukan juga kok.

Rebahan misal.




*Ijun itu nick name nya kucing di rumah. Nama lengkapnya Junior. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emotional Bank Account (EBA)

Dizaman serba cepat, kayanya hampir gak mungkin kalo ada orang diatas usia 20 tahun yang belum punya rekening bank atau dompet digital. Kehadiran OVO, Dompet DANA, GoPay dan sebangsanya juga sudah sangat amat luas penggunanya. Karena praktis, ga perlu narik uang dulu dan ga perlu khawatir uang jatuh dari saku akhirnya, lambat laun hal ini menjadi gaya hidup. Bicara hidup, sebenernya kita juga punya rekening bank sejak kita lahir da. Jadi dulu si penulis ini sempat scrolling Twitter temen. Kejadiannya kurang lebih 1 tahun yang lalu, dimana Qeis baru aktifin-ini pun terpelatuk oleh temen yang satu ini-Twitter lagi. Katanya .. “Biar kamu gak ketinggalan informasi.” (kurang lebih intinya itu) Setelah install Twitter terus buka aplikasinya. Rasanya kaya udah lama ga naik sepedah terus tiba-tiba beli sepedah langsung dipake keliling komplek. Jadinya Qeis meraba-raba lagi apa itu timeline, retweet , apa itu .. “ A Thread ” daaan seiring waktu akhirnya terbiasa dengan Twitter...

Fear of Missing Out (FoMO)

Waktu SMP, istirahat dan pulang sekolah selalu jadi waktu yang paling ditungguin. Ditungguin karena bisa jajan, bisa ngerjain PR ( deadliners ), atau ngobrol ngalur ngidul ga jelas. Waktu itu inget pernah merasa asing ketika temen-temen lagi bahas soal sepak bola. Jujur .. Qeis memang ga terlalu suka topik itu. Biasa aja. Waktu SD pernah ikut klub bola lapang besar, terus tiap istirahat juga mainnya seringnya bola. But somehow, every day feel the same . Ga pernah kepikiran untuk aktif banget dan ngepoin berita terbaru soal bola atau sampai begadang nonton piala dunia. Entah mungkin Ayah juga ga terlalu seneng bola, terus kaka cewe semua jadinya yaa .. saya lebih senang nonton Running Man dibanding bola 😊 Ketika masuk SMP jangkauan pertemanan lebih luas, obrolan juga mulai berkelas (anjay) daaaann topik bola itu sudah seperti topik khusus laki-laki. Ibaratnya topik make up udah otomatis topik khusus perempuan, ketika lagi ada liga inggris atau piala dunia.. tiap ketemu tuh pasti...

English Club

Di awal tahun 2020, Qeis tiba-tiba muncul keinginan untuk kuliah ke luar negeri. Aneh kenapa keinginan ini muncul sebenarnya. Berawal karena bantu manajer mengurusi persiapan keberangkatan direktur dan komisaris trip ke London. Satu waktu, ketika lagi bahas tentang kurs mata uang, Qeis baru tahu bahwa Poundsterling itu nilainya lebih tinggi jika dibanding Dollar Amerika. Dari situ langsung kepikiran gimana caranya bisa ke UK tapi ga cuma kerja, tapi kerja sambil kuliah. Anggapannya walau gaji kecil disana, tapi jika dirupiahkan akan cukup membantu kebutuhan di rumah orang tua. Kemudian ketika memikirkan persiapan apa yang krusial, bagi Qeis yang paling krusial saat ini yaitu, kemampuan berbahasa Inggris. Yup! Adakah dari kalian yang tidak senang atau enggan berbahasa Inggris? Atau mungkin lagi belajar? Misal udah coba latihan sendiri dari nonton film barat tanpa subtittle atau denger lagu-lagu barat tapi, masih kaku ketika mencoba speak up?   Yah.. apapun persepsi dan posi...