Dulu game yang paling Qeis takutin itu “Resident
Evil”. Soalnya waktu kecil saat bermalam di rumah saudara di Purwakarta
tepatnya, sekitar jam 12 malam para ponakan pada main game itu dan takut aja
gitu tampilannya gelap, mencekam, darah dan lain lain. Yang bikin takut itu
ketiba-tibaanya, tiba-tiba zombie depan muka, tiba-tiba ada ledakan, pokoknya
bikin kita harus siap dengan berbagai kemungkinan. Di game itu menceritakan
soal wabah dari perusahaan yang awalnya niat bikin obat malah efeknya jadi
bikin mayat hidup (zombie), yaa kurang lebih begitu. Mungkin pada ga aneh kalo
denger kata zombie, tapi tulisan ini bukan mau bahas zombie kawan-kawan. Tapi
soal wabah Pandemi yang tengah terjadi di dunia di tahun 2020. COVID-19.
Cukup kesal sama diri sendiri sebenarnya. Ketika
sudah lama tidak menulis eh, sekalinya nulis bahas soal wabah. Tapi harus
disyukuri juga karena anjuran work from home ini, Qeis jadi ada
keinginan lagi untuk menulis. Mungkin bisa jadi awal kembali mulai meningkatkan
kepekaan atas situasi yang tengah terjadi khususnya pada diri sendiri. Ini
bukan mau bahas virus atau cara pencegahannya, tulisan ini hanya soal sudut
pandang Qeis atas wabah ini. Dari perspektif akuntan berumur 23 tahun.
Yang paling Qeis bingung atas awal-awalnya
Indonesia mulai menunjukan sikap tegas menghadapi wabah ini yaitu kebebasan
untuk beribadah. Jujur, walaupun MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah
mengeluarkan fatwa untuk memperbolehkan shalat berjamaah / shalat Jum’at di
rumah tapi Qeis pribadi masih bingung apalagi di pasal ini :
Sumber:https://mui.or.id/berita/27674/fatwa-penyelenggaraan-ibadah-dalam-situasi-terjadi-wabah-covid-19/
Yang bikin bingung itu, skala dan
indikatornya. Bagaimana suatu wilayah dibilang terkendali/ tidaknya itu apa
dari jumlah ODP? PDP? Atau harus jatuh korban dulu? Lalu berapa radiusnya? RT/RW?
Desa? Kecamatan? Kelurahan? Pribadi karena tidak memiliki background yang
kredibel akhirnya harus pasrah atas keputusan itu apalagi bertempat tinggal di
kawasan Bandung raya. Beberapa masjid komplek tetap menjalankan aktivitas
peribadatan sebagaimana umumnya, namun masjid-masjid besar di tengah kota
khususnya sudah ditutup untuk pencegahan.
Yang bikin bingung juga kondisi orang tua yang
sempat sakit dan kaka yang ada di luar kota. Satu kerja di rumah sakit swasta
di Purwakarta dan bertugas di bagian UGD (termasuk pasien berprobabilitas COVID-19),
satu lagi di Karawang. Yang bikin khawatir lagi pas di kantor kaka yang di
Karawang itu ada yang PDP dan, kaka lagi hamil. Alhamdulillah sampai hari ini
masih sehat-sehat.
Lalu juga kondisi di komplek sendiri. Dimana
sekarang orang luar harus lapor dahulu sebelum masuk yang artinya kurir dan
tukang sayur sekalipun harus dikonfirmasi. Di pintu gerbang komplek sudah
dipasang selang dan semprotan untuk sterilisasi penghuni yang keluar masuk
komplek.
Di kantor apalagi. Sebelum masuk wajib pakai
masker, lalu di cek suhu tubuh, udah masuk harus segera cuci tangan, terus juga
jumlah pegawai yang masuk dijadwal untuk mengurangi jumlah pegawai yang bekerja
per harinya. Ribet? Takut? Iya, tapi bukan sama penyaktinya aja, sama manusianya
juga. Termasuk diri sendiri.
Ga pernah kepikiran akan menjadi saksi atas
terjadinya wabah yang bisa merenggut banyak korban, yang bisa bikin perekonomian
lumpuh, yang bisa bikin sekolah, kerja bahkan pulang kampung jadi “libur”, yang
bisa bikin manusia menunjukan insting bertahan layaknya hewan liar, entah itu
dengan panic buying atau jadi sedikit paranoia ketika denger
suara batuk orang lain.
Ko bisa?
Bisa banget. Jawabannya jelas ko, ini
menunjukan betapa kecilnya manusia. Kecil terhadap apa? Yang maha kuasa
tentunya Allah swt. Dari sini, bisa kita lihat bahwa apapun yang kita punya,
yang kita kuasai, yang kita lakukan, sebesar apapun itu kita masih terlihat
kecil, buktinya adalah dari entitas yang tidak terlihat aja pengaruhnya sudah
seperti ini. Apalagi kalo kaya film A Quiet Place? :’)
Disini, hari ini, kita sedang diuji. Dengan
berbagai ukuran, tingkatan dan tujuan tentunya. Ada yang diuji dengan susahnya
berjualan, diuji susahnya belajar, bahkan ujian pun hadir bagi mereka yang
merasa diuntungkan. Pengusaha-pengusaha yang memiliki aplikasi seperti ZOOM,
atau level penjual masker sekalipun mereka diuji dengan kebahagiannya, entah
dengan menaikan harga atau berorientasi pada kuantitas bukan kualitas.
Semua ada porsinya.
Lalu, berapa porsi yang cukup untuk menyikapi
wabah ini? Qeis pribadi belum berani untuk bilang bahwa jawaban Qeis adalah
jawaban yang tepat, ini murni opini. Melihat dari beberapa media sosial, berita
juga diskusi dengan beberapa teman, Qeis cukup bersyukur memiliki circle
yang positif menghadapi wabah ini. Merasa punya teman berjuang bersama juga
merasa yakin masih banyak orang di luar sana yang peka atas wabah ini.
Porsi yang tepat adalah ketika kamu pasrah dan
ikhtiarmu beriringan kepada Allah swt. Tidak sok jago juga tidak panik. Mudah?
Enggalah, kalo mudah ga ada tuh istilah panic buying terus nimbun-nimbun
sembako sama cairan pembersih hehehe. Tugas kita yaitu meningkatkan wawasan
juga kepekaan. Agar apa? Agar bijak. Dengan wawasan, kepekaan, berpikir kritis,
kita bisa buat keputusan yang pas porsinya. Dan modal paling utama atas semua
itu, yaitu tingkatkan iman.
hilih klise.
Sering denger? Jelas banget klise, karenanya banyak
yang luput dari kita atas hal ini. Apa kaitannya iman sama menyikapi wabah?
Tentu ada, karena jauh sebelum kamu meyakini bahwa ini akan membunuhmu, kamu
harus yakin dulu bahwa ini juga ciptaan Allah swt. Atas izin Allah swt.
Masalahnya prinsip ini ternyata menimbulkan banyak argumen yang muncul bahkan
dari negara dengan mayoritas berpenduduk islam.
Menurut Qeis, Iman ini jadi
filter utama. Filter untuk menyikapi berbagai informasi yang kita dapat soal
wabah ini, juga jadi filter eksekusi yang kita buat. Jangan sampai pikiran dan
tindakan kita bersandar pada hal yang ga tepat. Dokter dan tenaga medis juga
obat-obatan kurang kuat kah? Kurang lah! Kuasa Allah itu melampaui itu semua.
Mungkin kamu berpikir bahwa cuci tanganmu, vitaminmu, maskermu, juga rebahanmu
merupakan cara yang paling ampuh menangkal virus ini. Tapi sadarkah kita? Bahwa
kuasa Allah itu ada disitu. Bahkan lebih!
Siapa yang nuntun kamu dapet berita soal wabah
ini jauh sebelum orang lain? Siapa yang nuntun kamu bisa dapet masker, hand
sanitizer sampai vitamin untuk keluarga kamu? Siapa yang bikin kamu inget
untuk cuci tangan? Siapa yang nuntun kamu untuk tidak berinterkasi dengan orang
yang ternyata sudah terjangkit? Siapa yang kasih kamu izin untuk lahir dari
keluarga yang berkebutuhan? Siapa yang nuntun kamu untuk tidak bekerja di
Jakarta sebagai kota dengan infeksi tertinggi? Siapa yang nuntun kamu untuk
tidak bekerja di Rumah Sakit yang sekarang semua dokter dan perawatnya harus
mau bekerja lebih keras bahkan tidak bisa pulang kerumahnya?
Ini semua, diluar kendali kita bukan? Dengan
iman kita bisa bersyukur. Dengan iman kita bisa tenang. Dengan iman kita bisa
bijak. Maka saat inilah saat yang baik untuk tidak berhenti meningkatkan iman
dengan bersyukur. Gimana caranya? Banyak ko! Mulai dari hal kecil. Kamu bisa
habiskan waktu lebih banyak dengan keluarga yang awalnya cuma bisa ketemu pagi
dan malam. Kamu bisa merenung untuk mengenal diri dimana kurang dan lebihmu,
kamu bisa mengurus rumah dan orang tua yang mungkin kamu baru sadar bahwa
badannya tidak setangguh dulu mengurus rumah saat kamu kecil.
Intinya, kita jangan berhenti berprogres. Saat
ini, kita sedang diuji. Maka ambilah ujian itu, embrace the test, I know it
is not easy but.. how could we doubt Allah swt? Karena hanya satu yang
Allah tidak bisa lakukan, yaitu ..
mengingkari janjinya.
Jika kamu lulus ujian,
nikmatmu ikut bertambah bukan?
Mari bertumbuh dan bersyukur. Amin ya rabbal
alamin.
Komentar
Posting Komentar