Ada yang pernah sakit hati? Atau punya penyakit hati?
Kalo ditanya
begini apa yang pertama terlintas di kepala kalian? Momen apa yang ditampilkan?
Wajah? Benda? Luka? Atau semuanya masih terlihat jelas? Kayanya gak ada satupun
manusia yang belum pernah sakit hati. Mengingat kerasnya hidup di dunia, patah
hati sudah menjadi bagian dari hidup kita begitupun rasa bahagia. Tapi bicara
hati, kenapa yah kayanya menjadi topik yang selalu ramai dibahas? Digodok
hingga berjam-jam di kamar, di telfon bahkan di café. Rasanya makin lama makin
enak untuk dikonsumsi. Bukannya pengalaman sakit hati itu pahit? Lalu kenapa
dibahas terus? Apa karena ga sembuh-sembuh? Atau bingung malah gimana cara
nyembuhinnya? Sedikit
cerita, dulu Qeis sempat alami sakit hati yang berujung jadi penyakit hati.
Iri hati
tepatnya.
Awalnya Qeis denial
sama penyakit ini. Ini terjadi waktu Qeis masih duduk di bangku SMA sampai
kuliah semester 3 kira-kira. Ini terjadi saat Qeis gabung di salah satu
perkumpulan di Cimahi. Sebuah organisasi non profit yang berafiliasi
dengan pemerintah Kota Cimahi. Singkat cerita, Qeis bertemu dengan seorang
manusia yang entah kalo Qeis ketemu dia rasanya Qeis kecil. Tapi di sisi lain
hati Qeis ga terima perasaan itu. Di sisi lain pula Qeis mengakui ada keinginan
untuk mengenal dan belajar karena dari pembawaan dan wawasan yang dimilikinya
terasa jauh lebih baik dari Qeis. Ada satu momen Qeis mencoba akrab. Saat itu
lepas shalat Dzuhur dan Qeis coba membuka obrolan,
“Emang yah,
kalo banyak buku jadi banyak wawasannya.”
“Iya, makanya
banyak baca buku. Jadi bisa tau banyak hal.”
Mungkin kalo
kalian baca rasanya tidak ada yang salah dari dialog teramat singkat diatas. Sebenernya
kurang jelas bagaimana obrolan saat itu terjadi namun bagaimana rasanya sakit
hati saat itu tidak terlupakan. Dipercobaan pertama, Qeis sudah kesal dan
kecewa dengan cara menjawabnya. Memang tidak ketus, tapi bukan jawaban yang
Qeis harapkan. Dari hari itu, Qeis gelap mata. Dari hari itu, Qeis benar-benar
iri.
Hingga Qeis
kuliah, penyakit hati itu enggan hilang. Bagaimanapun juga selalu ada rasa
tidak suka. Entah saat dia berbicara, saat dia melakukan suatu kebaikan,
rasanya semua salah namun juga benar di saat bersamaan. Sampai suatu hari, Qeis
bertemu seorang wanita yang Qeis sukai. Di titik ini, fokus Qeis teralihkan
hehehe.
Tidak hanya
teralihkan namun juga Qeis menemukan alasan mengapa Qeis memyakini bahwa Qeis
iri hati. Kesadaran ini Qeis dapati setelah membaca buku dari sang wanita.
Beliau memiliki cukup pengalaman tentang membaca buku bertema self-help. Karena
Qeis penasaran dengan buku-buku bacaannya, Qeis meminjam sebagian buku dari
beliau. Buku yang memiliki dampak besar bagi Qeis dalam minat membaca yaitu,
buku dari psikolog terkenal bernama Carol S. Dweck dalam bukunya yang berjudul
“MINDSET : The New Psychology of Succes”.
Dalam buku
best sellernya ini, Qeis pertama kalinya jatuh cinta dengan membaca. Juga jatuh
cinta pada Psikologi. Hal ini pula yang membantu Qeis memiliki mindset yang
benar dan terbuka ketika Qeis implementasikan materi yang dibaca terhadap
penyakit hati yang Qeis punya. Dalam buku itu ada subjek yang membahas definisi
dari Growth Mindset dan Fixed Mindset.
Dari gambar
di atas, bisa kelihatan ga poin apa yang menurut kalian Qeis punya perasaan
iri? Sudah jelas bukan? Qeis tidak senang merasa tersaingi atau merasa ada
seseorang yang ternyata lebih cerdas dari Qeis. Qeis juga tidak senang dengan
kritik yang diberikan saat berdialog singkat dengan beliau soal membaca. Materi
soal Mindset ini bener-bener bikin Qeis sadar. Berasa Qeis menjalani hidup
dengan cara yang salah selama bertahun-tahun.
Dari sini,
ketika Qeis sakit hati atau memiliki kejenuhan yang panjang, membaca selalu
menjadi pilihan terbaik. Seperti air hangat di sore hari. Es krim setelah
pulang sekolah. Atau mungkin semangkuk bakso pedas di jam makan siang. Beuh…
lega kan rasanya! Begitulah membaca, begitu pula Qeis berhasil mengobati
penyakit hati setelah menghadapi kenyataan yang cukup pahit. Baik dari masalah
romansa sampai kehilangan motivasi.
Dalam kasus
Qeis, membaca buku psikologi sangat membantu Qeis untuk mengurai benang kusut
yang hadir ketika ada masalah yang Qeis hadapi. Menjadi salah satu jalan bagi
Qeis untuk tidak berlama-lama diam dalam situasi yang sebenarnya biang
masalahnya adalah cara berpikir kita sendiri.
Liat deh
pengalaman Qeis, doi ga salah apa-apa tapi Qeis yang risih. Bahkan ga sebentar,
penyakit itu ada dan bertahan kurang lebih 3 tahun! Betapa rugi kalo Qeis
biarin masalah ini berangsur-angsur yang malah akhirnya ga cuma iri tapi
merembet ke masalah hati yang lain, entah itu dengki atau benci mungkin?
Naudzubillahimindzalik.
Tapi Qeis
juga beryukur, mungkin dari do’a orang tua, dari lingkungan pertemanan, dari
kenalnya Qeis dengan wanita yang sekarang masih menjadi teman bertukar cerita tentang kehidupan, Qeis jadi diberi jalan untuk bisa menemukan obat atau pereda
nyeri atas masalah yang Qeis hadapi sampai hari ini. Tanpa pengalaman itu,
mungkin Qeis tidak akan menjadi yang sekarang.
Terakhir,
Qeis cuma ingin ajak pembaca di sini untuk mulai gemar membaca buku. Kalo
kalian belum suka, maka carilah buku yang buat kalian suka! Ga perlu baca semua
buku ko, ga perlu lihat orang lain juga yang bisa melahap beragam buku dalam 1
minggu, 1 bulan, atau 1 tahun. Bacalah
apa yang kamu yakini baik untukmu. Ga ada yang rugi ko, buku itu teman yang
paling jujur dan apa adanya. Mereka cuma cerita apa yang dituliskan dan sisanya
diserahkan kepada si pembaca. Dengan membaca kita bisa jalan-jalan mengelilingi
dunia, kita bisa ketawa lepas, kita juga bisa menagis hebat, atau mungkin
merenung berhari-hari, terinspirasi, tergerakan, tercerahkan.
Dalam cerita Qeis,
membaca bisa bantu mengobati penyakit hati.
Ceritamu?
Komentar
Posting Komentar